ARTIKEL 1
Di antara keistimewaan Idul Fitri 2015ini adalah akan bertepatan
dengan hari Jum’at. Ini menunjukkan bertemunya dua hari utama, yang
sama-sama hari ‘ied. Banyak yang menanyakan bagaimana jika Hari Raya
atau Idul Adha jatuh pada hari Jum’at, apakah shalat Jum’atnya gugur
karena telah melaksanakan shalat ‘ied?
Mudah-mudahan penjelasan berikut dapat menjawab hal ini.
[1]
Apabila hari raya Idul Fithri atau Idul Adha bertepatan
dengan hari Jum’at, apakah shalat Jum’at menjadi gugur karena telah
melaksanakan shalat ‘ied? Untuk masalah ini para ulama memiliki dua
pendapat.
Pendapat Pertama: Orang yang melaksanakan shalat ‘ied tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at.
Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)
Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.”
[2] Ancaman keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
الْجُمُعَةُ
حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً
عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“
Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap
muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1] budak, [2] wanita,
[3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.”
[3]
Ketiga:
Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang sama-sama
wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu wajib), maka
shalat Jum’at dan shalat ‘ied tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya
sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Ied.
Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,
قَالَ
أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ
ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ
فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ
فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ
الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ
أَذِنْتُ لَهُ
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin
‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat
‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai
sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua
hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap)
ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin
pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.”
[4]
Pendapat Kedua: Bagi
orang yang telah menghadiri shalat ‘Ied boleh tidak menghadiri shalat
Jum’at. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat
Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at
bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir.
Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan
pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar,
Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama:
Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku
pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin
Arqom,
أَشَهِدْتَ
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى
يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ
رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ
».
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan
hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah
bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau
melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan
shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.”
[5]
Asy Syaukani dalam
As Sailul Jaror (1/304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam
Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini
jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam
Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih. ‘Ali Al Madini dalam
Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini
jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam
Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini
shahih.
[6] Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
Kedua:
Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh
pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian
ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau
hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika
Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada
Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang
menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [
ashobas sunnah].”
[7] Jika sahabat mengatakan
ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.
Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan
seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar
tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi
Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied
maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada
pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.
[8]
Kesimpulan:
- Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied untuk
tidak menghadiri shalat Jum’at sebagaimana berbagai riwayat pendukung
dari para sahabat dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi
pendapat ini.
- Pendapat kedua yang menyatakan boleh bagi orang yang telah
mengerjakan shalat ‘ied tidak menghadiri shalat Jum’at, ini bisa
dihukumi marfu’ (perkataan Nabi) karena dikatakan “ashobas sunnah (ia
telah mengikuti ajaran Nabi)”. Perkataan semacam ini dihukumi marfu’
(sama dengan perkataan Nabi), sehingga pendapat kedua dinilai lebih
tepat.
- Mengatakan bahwa riwayat yang menjelaskan pemberian keringanan tidak shalat jum’at adalah khusus untuk orang yang nomaden seperti
orang badui (yang tidak dihukumi wajib shalat Jum’at), maka ini adalah
terlalu memaksa-maksakan dalil. Lantas apa faedahnya ‘Utsman mengatakan,
“Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan”? Begitu pula Ibnu Az Zubair bukanlah orang yang nomaden, namun ia mengambil keringanan tidak shalat Jum’at, termasuk pula ‘Umar bin Khottob yang melakukan hal yang sama.
- Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at
supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat
‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah anjuran untuk membaca
surat Al A’laa dan Al Ghosiyah jika hari ‘ied bertemu dengan hari
Jum’at pada shalat ‘ied dan shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى
الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ
حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى
يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua ‘ied dan dalam shalat Jum’at “
sabbihisma robbikal a’la” dan
“hal ataka haditsul ghosiyah”.”
An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan
dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di
masing-masing shalat.
[9]
Hadits ini juga menunjukkan
dianjurkannya membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah ketika hari ‘ied
bertetapan dengan hari Jum’at dan dibaca di masing-masing shalat (shalat
‘ied dan shalat Jum’at).
- Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri
shalat ‘ied, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur
sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut
menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jum’at, maka sebagai
gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (4 raka’at).[10]
Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum
muslimin. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan
menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
ARTIKEL 2
Berikut adalah fatwa Lajnah Daimah tentang peristiwa hari raya yang bertepatan dengan hari jumat.
Fatwa no. 21160 diterbitkan tanggal 8 Dzulqa’dah 1420 H.
Alhamdulillah wahdah, was shalatu was salamu ‘ala man laa nabiyya ba’dah, amma ba’du,
Terdapat banyak pertanyaan terkait peritiwa hari raya yang bertepatan dengan
hari jumat. Baik
idul fitri maupun idul adha.
Apakah jumatan tetap wajib dilaksanakan bagi mereka yang telah
melaksanakan shalat id? Bolehkah mengumandangkan adzan di masjid yang
diadakan shalat dzuhur? Dan beberapa pertanyaan terkait lainnya. Untuk
itu, Lajnah Daimah menerbitkan fatwa berikut:
Dalam permasalahan ini, ada beberapa hadis Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dana keterangan sahabat yang menjelaskan hal itu. Diantaranya:
Pertama, hadis Zaid bin Arqam
radhiyallahu ‘anhu, bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan
radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepadanya: “Apakah anda pernah mengikuti hari raya yang bertepatan dengan hari jumat di zaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam?” “Lalu apa yang beliau lakukan?” Jawab Zaid:
صلى العيد ثم رخص في الجمعة، فقال: من شاء أن يصلي فليصل
“Beliau shalat id, dan memberi keringanan untuk tidak shalat jumat. Beliau berpesan: ‘
Siapa yang ingin shalat jumat, hendaknya dia shalat.’” (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai, ibn Majah, Ad-Darimi).
Kedua, hadis dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قد اجتمع في يومكم هذا عيدان، فمن شاء أجزأه من الجمعة، وإنا مجمعون
“Pada hari ini terkumpul dua hari raya (jumat dan id). Siapa yang
ingin shalat hari raya, boleh baginya untuk tidak jumatan. Namun kami
tetap melaksanakan jumatan.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah, Ibnul Jarud, Baihaqi, dan Hakim).
Ketiga, hadis dari Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:
اجتمع عيدان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى بالناس ثم قال: من شاء أن يأتي الجمعة فليأتها ومن شاء أن يتخلف فليتخلف
Pernah terkumpul dua hari raya dalam sehari di zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau mengimami shalat id, dan berkhutbah:
“Siapa yang ingin jumatan, silahkan datang jumatan. Siapa yang ingin tidak hadir jumatan, boleh tidak hadir.” (HR. Ibn Majah).
Sementara dalam riwayat At-Thabrani di Al-Mu’jam Al-Kabir, dinyatakan bahwa Ibnu Umar menceritakan:
اجتمع عيدان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم: يوم
فطر وجمعة، فصلى بهم رسول الله صلى الله عليه وسلم العيد، ثم أقبل عليهم
بوجهه فقال: يا أيها الناس إنكم قد أصبتم خيراً وأجراً وإنا مجمعون، ومن
أراد أن يجمع معنا فليجمع، ومن أراد أن يرجع إلى أهله فليرجع
“Pernah terkumpul dua hari raya dalam sehari di zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, idul fitri dan hari jumat. Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami shalat id, lalu berkhutbah di hadapan para sahabat:
“Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah mendapatkan kebaikan dan
pahala, namun kami akan tetap melaksanakan jumatan. Siapa yang ingin
ikut jumatan bersama kami, silahkan ikut. Siapa yang ingin pulang ke
keluarganya, silahkan pulang.”
Keempat, hadis dari Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اجتمع عيدان في يومكم هذا فمن شاء أجزأه من الجمعة وإنا مجمعون إن شاء الله
“Terkumpul dua hari raya pada hari ini. Siapa yang ingin shalat
id, maka boleh baginya untuk tidak ikut jumatan. Dan kami akan tetap
melaksanakan jumatan, insyaaAllah.” (HR. Ibn Majah, kata Al-Bushiri: Sanadnya shahih dan perawinya tsiqat).
Kelima, riwayat dari Atha bin Abi Rabah, beliau menceritakan:
“Abdullah bin Zubair pernah mengimami kami shalat id pada hari jumat di
pagi hari. Kemudian (si siang hari) kami berangkat jumatan. Namun
Abdullah bin Zubair tidak keluar untuk mengimami jumatan, sehingga kami
shalat (dzuhur) sendiri-sendiri. Ketika itu, Ibnu Abbas sedang di Thaif.
Ketika kami datang ke Thaif, kami ceritakan kejadian ini dan beliau
mengatakan, ‘Dia (Ibn Zubair) sesuai sunah.’” (HR. Abu Daud). Dalam
riwayat Ibnu Khuzaimah terdapat tambahan, bahwa Ibnu Zubair mengatakan:
رأيت عمر بن الخطاب إذا اجتمع عيدان صنع مثل هذا
“Saya melihat Umar bin Khatab, ketika ada dua hari raya yang bersamaan, beliau melakukan seperti itu.”
Keenam, riwayat dari Abu Ubaid, bekas budak Ibnu
Azhar, bahwa beliau pernah mengalami kejadian berkumpulnya dua hari raya
di zaman Utsman bin Affan. Ketika itu hari jumat. Kemudian beliau
shalat hari raya, lalu berkhutbah:
يا أيها الناس إن هذا يوم قد اجتمع لكم فيه عيدان، فمن أحب أن ينتظر الجمعة من أهل العوالي فلينتظر، ومن أحب أن يرجع فقد أذنت له
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya pada hari ini terkumpul dua
hari raya. Siapa diantara penduduk pedalaman yang ingin menunggu jumatan
maka hendaknya dia menunggu (tidak pulang). Dan siapa yang ingin
pulang, aku izinkan dia untuk pulang.” (HR. Bukhari dan Malik dalam
Al-Muwatha’)
Ketujuh, dari Ali bin Abi Thalib r
adhiyallahu ‘anhu, bahwa terkumpul dua hari raya di hari jumat, beliau berkhutbah setelah shalat id:
من أراد أن يجمع فليجمع، ومن أراد أن يجلس فليجلس
“Siapa yang ingin menghadiri jumatan, silahkan datang. Siapa yang
ingin tetap di rumah, silahkan duduk di rumahnya (tidak berangkat
jumatan).” (HR. Ibn Abi Syaibah dan Abdur Razaq).
Berdasarkan beberapa hadis Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, keterangan dan praktek sejumlah sahabat
radhiyallahu ‘anhum, serta pendapat yang dianut oleh mayoritas ulama, maka
Lajnah Daimah memutuskan hukum berikut:
- Orang yang telah menghadiri shalat id, mendapat keringanan untuk
tidak menghadiri jumatan. Dan dia wajib shalat dzuhur setelah masuk
waktu dzuhur. Akan tetapi jika dia tidak mengambil keringanan, dan ikut
shalat jumat maka itu lebih utama.
- Orang yang tidak menghadiri shalat id maka tidak termasuk yang
mendapatkan keringanan ini. Karena itu, kewajiban jumatan tidak gugur
baginya, sehingga dia
- wajib berangkat ke masjid untuk melaksanakan shalat jumat. Jika di
masjid tempatnya tidak ada shalat jumat maka dia shalat dzuhur.
- Wajib bagi takmir masjid atau petugas jumatan untuk mengadakan
jumatan di masjidnya, untuk menyediakan sarana bagi mereka yang tidak
shalat id atau orang yang ingin melaksanakan jumatan. Karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam khutbahnya: “Namun kami
tetap melaksanakan jumatan” sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis di
atas.
- Orang yang shalat id dan mengambil keringanan untuk tidak jumatan, dia wajib shalat dzuhur setelah masuk waktu dzuhur.
- Tidak disyariatkan mengumandangkan adzan di hari itu, kecuali adzan
di masjid yang diadakan shalat jumat. Karena itu, tidak disyariatkan
melakukan adzan dzuhur di hari itu.
- Pendapat yang menyatakan bahwa orang yang shalat id maka gugur
kewajibannya untuk shalat jumat dan shalat dzuhur pada hari itu, adalah
pendapat yang tidak benar. Oleh sebab itu, para ulama menghindari
pendapat ini, dan menegaskan salahnya pendapat ini, karena bertentangan
dengan ajaran dan menganggap ada kewajiban yang gugur tanpa dalil.
Allahu a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa aalihii wa shahbihii wa sallam..
Ditandatangi oleh:
Ketua : Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh
Anggota : Abdullah bin Abdurrahman Al-Ghadyan, Bakr bin Abdullah Abu Zaid, dan Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan
Demikian Fatwa Lajnah Daimah, dengan beberapa penyesuaian.
Dialihbahasakan oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)