SYARAT UTAMA DITERIMANYA AMAL IBADAH / شروط
قبول العمل
Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz
A. TUJUAN DAN
HIKMAH PENCIPTAAN MANUSIA dan JIN
Sesungguhnya Allah Ta’ala
menciptakan alam semesta tidaklah dengan sia-sia atau tanpa hikmah di balik
penciptaan tersebut. Aka tetapi Allah memiliki maksud dan tujuan yang mulia.
Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ
وَاْلأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلاً
“Dan Kami tidak menciptakan langit
dan bumi dan apa yang ada di antaranya keduanya tanpa hikmah” (QS. Shaad : 27)
Adapun hikmah dari penciptaan jin
dan manusia di alam semesta ini adalah agar mereka beribadah kepada Allah dan
tidak mensekutukan-Nya. Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ
إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku”.
( (QS. Al Dzariyat : 56)
Inilah tujuan yang agung dari
penciptaan jin dan manusia, yaitu agar mereka hanya beribadah kepada Allah. Hal
ini menunjukkan bahwa tidaklah Allah menciptakan mereka karena Allah butuh
kepada mereka, akan tetapi justru merekalah yang membutuhkan Allah. Dan ayat
ini menunjukkan pula tentang wajibnya manusia dan jin untuk mentauhidkan Allah
dan barang siapa mengingkarinya maka ia termasuk orang yang kafir, yang tidak
ada balasan baginya kecuali neraka.
B. MAKNA IBADAH
Arti Ibadah ( العِبَادَةُ )
secara bahasa adalah tunduk dan menghinakan diri serta khusyu’.
Di dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith ibadah artinya ”tunduk
kepada Tuhan yang menciptakan”. Imam Al Qurthuby berkata ”Asal
ibadah ialah tunduk dan menghinakan diri”.
Secara istilah arti ibadah adalah
sebagaimana perkataan Ibnu Katsir : “Ibadah adalah
taat kepada Allah dengan melaksanakan hal-hal yang diperintahkan dan menjauhi
hal-hal yang dilarang”. Kemudian Ibnu Taimiyah berkata : “Ibadah
ialah sesuatu yang mencakup semua perkara yang dicintai dan diridhoi Allah
berupa perkataan atau perbuatan yang nampak atau pun tidak nampak”.
C. HUKUM IBADAH
Hukum asal dari ibadah adalah haram
kecuali ada dalil. Maksudnya adalah semua bentuk ibadah adalah haram untuk
dikerjakan kecuali kalau ada dalil dari Al-Qur’an Al-Karim atau Hadits Shohih
yang mewajibkannya atau mensunahkannya. Seperti sholat, puasa,
zakat, haji adalah haram dikerjakan pada asalnya, namun dikarenakan ada dalil
yang mewajibkannya maka hukumnya menjadi wajib untuk dikerjakan.
Dalil tentang wajibnya sholat
dan zakat adalah firman Allah Ta’ala:
وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا
الزَّكَاةَ
“Dirikanlah sholat dan tunaikanlah
zakat” ( QS. Al Baqoroh : 83 )
Dalil tentang kewajiban puasa
adalah firman Allah Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang beriman, diwajibkan
atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian
agar kalian bertakwa” ( QS. Al
Baqoroh : 183 )
Dalil tentang kewajiban haji
adalah firman Allah Ta’ala :
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ
الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah”. ( QS. Ali ‘Imran : 97 )
Kemudian sabda Nabi shallallahu
alaihi wasallam :
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ
الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ
“Islam dibangun di atas lima
perkara, yaitu : persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah
kecuali Allah I semata dan persaksian bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul
–Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa romadhon dan pergi haji”. [
HR. Bukhari dan Muslim]
D. SYARAT UTAMA
DITERIMANYA IBADAH
Peribadatan seorang hamba yang
muslim akan diterima dan diberi pahala oleh Allah I apabila telah memenuhi dua
syarat utama berikut ini, yaitu :
1. IKHLAS (
اَلإِخْلاَصُ )
Ikhlas merupakan salah satu makna
dari syahadat ( أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ) ‘bahwa tiada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah I’ yaitu agar menjadikan ibadah
itu murni hanya ditujukan kepada Allah semata. Allah I berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama”. [QS. Al Bayyinah : 5]
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ
الدِّينَ
“Maka beribadahlah kepada Allah
dengan memurnikan ketaatan (mu) untuk-Nya.”
[QS. Az Zumar : 2]
Kemudian Rasulullah r
bersabda :
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ لاَ
يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ
وَجْهُهُ
“Sesungguhnya Allah tidak menerima
suatu amal perbuatan kecuali yang murni dan hanya mengharap ridho Allah”. [HR.
Abu Dawud dan Nasa’i]
Lawan daripada ikhlas adalah syirik
(menjadikan bagi Allah tandingan/sekutu di dalam beribadah, atau beribadah
kepada Allah tetapi juga kepada selain-Nya). Contohnya : riya’ (memperlihatkan
amalan pada orang lain), sum’ah (memperdengarkan suatu amalan pada orang
lain), ataupun ujub (berbangga diri dengan amalannya). Kesemuanya itu
adalah syirik yang harus dijauhi oleh seorang hamba agar ibadahnya itu diterima
oleh Allah I . Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ
عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya sesuatu yang paling
aku takutkan terjadi pada kalian adalah syrik kecil”, para sahabat bertanya :
“Wahai Rasulullah, apa itu syirik kecil ? Rasulullah menjawab : “Riya’”. [HR.
Ahmad]
Kemudian firman Allah tentang
larangan syirik ialah,
فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui”. [QS. Al-Baqoroh :22]
Orang yang rajin beribadah kepada
Allah I namun dalam waktu yang bersamaan ia belum bertaubat dari perbuatan
syirik dengan berbagai bentuknya, maka semua amal ibadah yang telah
dikerjakannya menjadi terhapus dan ia menjadi orang yang merugi di akhirat
kelak, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ
مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan
Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. [QS. Al-An’aam: 88]
وَلَقَدْ أُوحِيَ
إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ
عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan Sesungguhnya telah diwahyukan
kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan
(Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang
yang merugi”. [QS. Az-Zumar: 65]
2. AL-ITTIBA’ ( اَلْاِتِّبَاعُ )
Al-Ittiba’ (Mengikuti
Tuntunan Nabi Muhammad r) merupakan salah satu dari makna syahadat bahwa
Muhammad adalah utusan Allah (أَنَّمُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ), yaitu
agar di dalam beribadah harus sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad r . Setiap ibadah yang diadakan secara baru yang tidak pernah
diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad maka ibadah itu tertolak, walaupun
pelakunya tadi seorang muslim yang mukhlis (niatnya ikhlas karena Allah
dalam beribadah). Karena sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kita
semua untuk senantiasa mengikuti tuntunan Nabi Muhammad dalam segala hal,
dengan firman-Nya :
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan apa-apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah”.[QS. Al Hasyr : 7]
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”.
[QS. Al-Ahzaab: 21]
Dan Rasulullah r juga telah
memperingatkan agar meninggalkan segala perkara ibadah yang tidak ada contoh
atau tuntunannya dari beliau, sebagaimana sabda beliau:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengamalkan suatu
amalan yang tidak ada urusannya dari kami maka amal itu tertolak”. [HR.
Muslim]
Itulah tadi dua syarat yang
menjadikan ibadah seseorang diterima dan diberi pahala oleh Allah, sebagaimana
firman-Nya :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ
رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ
أَحَدًا
“Barang siapa mengharap perjumpaan
dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. [QS. Al Kahfi : 110]
Berkata Ibnu Katsir di dalam
menafsirkan ayat ini : “Inilah 2 landasan amal yang diterima (dan diberi pahala
oleh Allah), yaitu harus ikhlas karena Allah dan benar / sesuai dengan syari’at
Rasulullah .”
Jadi kedua syarat ini haruslah ada
pada setiap amal ibadah yang kita kerjakan dan tidak boleh terpisahkan antara
yang satu dan yang lainnya. Mengenai
hal ini berkata Al Fudhoil bin ‘Iyadh :
“Sesungguhnya andaikata suatu amalan
itu dilakukan dengan ikhlas namun tidak benar (tidak sesuai dengan tuntunan
Nabi Muhammad ), maka amalan itu tidak diterima. Dan andaikata amalan itu
dilakukan dengan benar (sesuai dengan tuntunan Nabi ) tapi tidak ikhlas, juga
tidak diterima, hingga ia melakukannya dengan ikhlas dan benar. Ikhlas semata
karena Allah, dan benar apabila sesuai dengan tuntunan Nabi ”.
Maka barang siapa mengerjakan suatu
amal dengan didasari ikhlas karena Allah semata dan cocok dengan tuntunan
Rasulullah niscaya amal itu akan diterima dan diberi pahala oleh Allah. Akan
tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal ibadah itu
akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah I. Hal inilah yang sering luput
dari perhatian orang banyak karena hanya memperhatikan satu sisi saja dan
tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita dengar
mereka mengucapkan : “yang penting niatnya, kalau niatnya baik maka amalnya
akan baik”.
Perlu diketahui bahwa sikap ittiba’
(berupaya mengikuti tuntunan Nabi Muhammad r) tidak akan tercapai / terwujud
kecuali apabila amal ibadah yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam 6
(enam) perkara, yaitu :
1. SEBAB (
اَلسَّبَبُ )
Jika seseorang melakukan suatu
ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak di syari’atkan, maka ibadah
tersebut adalah bid’ah dan tertolak. Contohnya: ada orang melakukan
sholat Tahajjud khusus pada malam 27 Rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah
malam Isro Mi’rajnya Nabi Muhammad r. Sholat Tahajjud adalah ibadah yang
dianjurkan, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut yang tidak ada
syari’atnya, maka ia menjadi bid’ah.
2. JENIS (
اَلْجِنْسُ )
Ibadah harus sesuai dengan syari’at
dalam jenisnya. Contohnya: bila seseorang menyembelih kuda atau ayam
pada hari Iedul Adha untuk korban, maka hal ini tidak sah karena jenis yang
boleh dijadikan untuk korban adalah unta, sapi dan kambing.
3. BILANGAN (
اَلْعَدَدُ )
Kalau ada orang yang menambahkan
rokaat sholat yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka sholatnya itu adalah
bid’ah dan tidak diterima oleh Allah. Jadi apabila ada orang yang sholat Dhuhur
5 rokaat atau sholat Shubuh 3 rokaat dengan sengaja maka sholatnya tidak
diterima oleh Allah karena tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad.
4. TATA CARA (
اَلْكَيْفِيَّةُ )
Seandainya ada orang berwudhu dengan
membasuh kaki terlebih dulu baru kemudian muka, maka wudhunya tidak sah karena
tidak sesuai dengan tata cara yang telah disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya
di dalam Al-Qur’an Al-Karim dan Al-Hadits Asy-Syarif.
5. WAKTU ( اَلزَّمَانُ
)
Apabila ada orang yang menyembelih
korban sebelum sholat hari raya Idul Adha atau mengeluarkan zakat Fitri sesudah
sholat hari raya Idul Fitri, atau melaksanakan shalat fardhu sebelum masuk atau
sesudah keluar waktunya, maka penyembelihan hewan korban dan zakat Fitrinya
serta shalatnya tidak sah karena tidak sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan oleh syari’at Islam, yaitu menyembelih hewan korban dimulai sesudah
shalat hari raya Idul Adha hingga sebelum matahari terbenam pada tanggal 13
Dzul Hijjah (hari Tasyriq ketiga), dan mengeluarkan zakat Fitri sebelum
dilaksanakannya sholat Idul Fitri.
6. TEMPAT (
اَلْمَكَانُ )
Apabila ada orang yang menunaikan
ibadah haji di tempat selain Baitulah Masjidil Haram di Mekah, atau melakukan
i’tikaf di tempat selain masjid (seperti di pekuburan, gua, dll), maka tidak
sah haji dan i’tikafnya. Sebab tempat untuk melaksanakan ibadah haji adalah di
Masjidil Haram saja, dan ibadah i’tikaf tempatnya hanya di dalam masjid.
Sehingga dengan memperhatikan enam
perkara tersebut, maka kita dapat mencocokkan / mengoreksi apakah amal ibadah
yang kita lakukan sudah sesuai dengan syariat Allah dan Rasul-Nya atau tidak?.
Demikian
pembahasan singkat tentang syarat-syarat utama diterimanya amal ibadah. Semoga
bermanfaat bagi kita semua di dunia dan akhirat. Amiin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.